Sekali Melangkah Pantang Menyerah, Sekali Tampil Harus Berhasil, Jiwa Ragaku Demi Kemanusiaan

Selasa, 02 September 2014

RESIMEN PELOPOR Pasukan Elit Tanpa Sejarah


Terbongkarnya konspirasi CIA untuk menggulingkan pemerintah Indonesia membuat panik pemerintah Amerika Serikat. Amerika Serikat dan CIA kemudian membuat manuver untuk ”mengambil hati” Bung Karno. Langkah pertama yang dilakukan pemerintah AS adalah memberikan bantuan militer bagi Indonesia dengan mendidik para perwira militer Indonesia di AS.




Pada masa tahun 1950-an Brigade Mobil (Brimob) merupakan tulang punggung utama Polri bersama dengan kesatuan Perintis sebagai kesatuan pelapisnya. Pada masa itu, pendidikan Brimob di berbagai Sekolah Polisi Negara (SPN) mempunyai materi dasar-dasar kemiliteran dan infanteri. Pendidikan dasar berupa teknik bertempur level peleton, menembak ahli dan gerakan tempur mulai regu sampai dengan batalyon diajarkan. Pendidikan menjadi tamtama Brigade Mobil memerlukan waktu 13 bulan, bandingkan dengan pendidikan tamtama TNI AD waktu itu yang hanya memerlukan waktu 4 bulan. Konsekuensinya jumlah kompi Brimob yang ada pada waktu itu juga tidak cukup untuk mengatasi konflik bersenjata di daerah. Hal ini yang kemudian memunculkan ide membentuk pasukan khusus untuk keamanan dalam negeri dengan kualifikasi lebih tinggi dari Brimob.

Pada tahun 1950-an ada beberapa perwira Polri dari Mobile Brigade (Brimob) yang mendapatkan kursus infanteri lanjut di Fort Lavenworth dan Fort Bragg di Amerika Serikat. (Pour, 2007, h 78). Diantara mereka adalah Inspektur Anton Soedjarwo. Mereka mendapatkan pendidikan infanteri karena presiden Soekarno memang sengaja tidak mengirim ”para pesaing”nya dari perwira Angkatan Darat. Kebetulan para perwira yang mendapatkan pendidikan di AS itu adalah mantan Tentara Pelajar (TP) sehingga presiden Soekarno mempunyai argumen kuat untuk mengirimkan para perwira Polri tersebut.

Brigade Mobil juga mendapatkan ”berkah” dari aksi permintaan maaf oleh pemerintah Amerika Serikat ini. Pada bulan Januari 1959, pemerintah AS memberikan bantuan pelatihan militer dan senjata kepada Brigade Mobil dari Kepolisian Republik Indonesia. Ada 8 perwira polisi yang dididik di Okinawa (pangkalan marinir AS) sebagai kontingen pertama. Selanjutnya pada bulan September 1959 kompi pertama Brimob Ranger telah dibentuk. Pada pertengahan 1960 kontingen kedua perwira polisi Indonesia kembali dididik menjadi Ranger.

Pasukan Ranger dari Brigade Mobil ini dibentuk untuk mengatasi pemberontakan bersenjata dalam negeri. Meskipun instruktur pelatihan Ranger ini sebagian besar dari marinir AS di Okinawa namun pola latihan mereka merupakan gabungan dari Ranger AD AS dan pasukan Recon USMC (United States Marine Corps). Selain mendapatkan pelatihan, pada pertengahan 1960, Ranger Brigade Mobil (saat itu namanya berubah menjadi Pelopor) mendapatkan bantuan senjata senapan serbu AR 15 yang merupakan versi awal atau versi non-militer dari M 16 A1. Pasukan Menpor adalah salah satu pengguna pertama senjata ini, bahkan pada saat itu pasukan reguler batalyon Infanteri AS yang ditugaskan di Vietnam sebagai observer masih menggunakan senjata M 1 Garrand.

Sejak awal pembentukan korps Kepolisian Republik Indonesia memang lebih dekat perannya sebagai combatant daripada sebagai polisi sipil. Kondisi masa perjuangan waktu itu, menyebabkan polisi harus terlibat langsung dalam perjuangan bersenjata. Keterlibatan polisi sebagai combatant dipelopori oleh satu kompi Polisi Istimewa pimpinan Inspektur Polisi M Jassin dalam pertempuran Surabaya 10 November 1945.

Pada masa itu Polisi Istimewa merupakan sebuah korps kepolisian bentukan Jepang dengan persenjataan lengkap. Namun karena kekosongan pemerintahan pasca penyerahan Jepang pada Sekutu tahun 1945, peran Polisi Istimewa lebih berperan sebagai pasukan pertahanan. Selanjutnya pada tahun tanggal 14 November 1946, PM Syahrir meresmikan korps Polisi Istimewa  menjadi korps Mobile Brigade, sebagai bagian dari Polri dengan fungsi sebagai combatant karena kebutuhan pertahanan waktu itu. Tanggal 14 November ini selanjutnya ditetapkan sebagai Hari Jadi Korps Brigade Mobil.

Pada peristiwa pemberontakan di daerah-daerah pada dekade 50-an,kompi-kompi Brigade Mobil banyak dikerahkan untuk meredamnya. Namun demikian, lawan yang mereka hadapi adalah para mantan pejuang dengan kemampuan tinggi dalam melakukan perang gerilya. Kebanyakan kompi Brimob yang dikerahkan untuk memadamkan pemberontakan adalah para prajurit yunior yang belum mengalami pertempuran gerilya.

Pemberontakan Batalyon 426 yang berkedudukan di Magelang dan Kudus karena pengaruh unsur DI/TII pada tahun 1951 adalah gerakan pemberontakan yang cukup serius. Pemberontakan ini dipimpin oleh Kapten Sofyan dan Kapten Alif. Batalyon ini merupakan TNI reguler yang mempunyai pengalaman dalam perang gerilya melawan Belanda. Gerakan pasukan ini sampai dengan wilayah Klaten dan Karanganyar. Pasukan pemberontak berkedudukan di Pedan, Klaten.  Pasukan Mobile Brigade (Brimob) juga terlibat dalam penghadangan pemberontak, namun karena mereka kalah pengalaman dalam pertempuran hutan, banyak anggota Brimob dari Surakarta yang menjadi korban.

Pada waktu itu senjata perorangan yang dipergunakan pasukan Brimob cukup memadai untuk menjadi pasukan infanteri karena mereka menggunakan senapan Lee Enfield. Senjata laras panjang buatan Inggris yang biasa dipergunakan pasukan infanteri. Senapan dengan sistem bolt action ini menjadi andalan Brimob untuk menghadang musuh. Pasukan pemberontak sebagian besar juga menggunakan senjata yang sama, namun demikian sekali lagi pasukan Brimob pada masa itu belum dibekali dengan pengetahuan perang anti gerilya, sehingga mereka tidak mampu menghadang pemberontak.

Pasukan pemberontak berani melakukan serbuan (raid) ke kota untuk melakukan pengacauan. Beberapa pemberontak DI/TII di wilayah Tegal-Brebes pimpinan Amir Fatah seringkali berani menyerang markasi polisi atau asrama polisi di kota. Pada umumnya mereka menyerang markas polisi yang dijaga satuan-satuan Perintis. Satuan-satuan Perintis tersebut hanya mampu bertahan di dalam markas dengan tujuan utama mempertahankan markasnya. Mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mengejar musuh dan melakukan serangan balasan, atau bahkan menangkap mereka sesuai dengan tugas sebagai polisi di masa itu. Hal ini yang mendorong para petinggi Polri dan pemerintah di masa itu untuk membentuk unit pasukan khusus di dalam Polri yang mempunyai kemampuan melakukan siasat perang anti gerilya.

Hal ini yang melatarbelakangi pembentukan pasukan Ranger Brigade Mobil. Masalahnya adalah bagaimana mendidik prajurit Brimob menjadi seorang Ranger dengan keahlian pertempuran hutan, pergerakan tempur yang cepat dan kemampuan melakukan pertempuran jarak dekat. Selanjutnya pihak DKN (Dinas Kepolisian Negara)/Mabes Polri yang melakukan inventarisasi kebutuhan untuk membentuk pasukan khusus untuk menangani pemberontakan bersenjata di dalam negeri.

BRIGADE







Tidak ada komentar:

Posting Komentar